Oleh : Muhammad Hafis (Mahasiswa Magister Ilmu Syariah UIN Yogyakarta) | Aminah Yuliza Putri (Mahasiswi UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru-Riau)
Pada 18 Maret 2022 fenomena pernikahan beda agama kembali terjadi di Indonesia, berbagai pihak memberikan respon mulai dari masyarakat sipil sampai kepada para akademisi. Tidak jarang kita masih mendengar pemaparan oleh orang yang dianggap ahli hukum mengatakan bahwa nikah beda agama boleh dan sah, baik secara agama maupun Negara. Maka, dalam tulisan ini akan penulis jelaskan terlebih dahulu alasan apa saja yang menjadi dalil atau aturaan hukum yang digunakan oleh orang yang berpendapat boleh, dan seberapa kuat dalil yang digunakan, kemudian penulis langsung jelaskan dengan dasar hukum yang digunakan semestinya, dengan harapan pembaca akan mudah memahami serta dapat mengambil kesimpulan yang baik dan benar.
Sebut saja Ahmad Nurcholis yang menjadi konselor pernikahan beda agama yang langsung dengan terang-terangan yang baru-baru ini terjadi di Semarang. Ahmad Nurcholis menyebutkan, bahwa pernikahan itu adalah setiap hak warga Negara meskipun mereka berbeda agama tetap bisa melaksanakan pernikahan, dan hal ini bukan hal pertama terjadi. Nurcholis merujuk kepada UUD Perkawinan, UUD Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 pasal 2 ayat 1 dijelaskan, bahwa pernikahan sah jika dilaksanakan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. Nurcholis menafsirkan pasal ini “untuk mereka yang berbeda agama, supaya sah sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, maka mereka menikah melalui dua tata cara. Jadi, dalam hal ini misalnya antara orang Islam dan Kristen, maka selain pernikan tata cara Islam mereka juga melaksanakan pemberkatan. ((Nikah Beda Agama di Indonesia, Kok Bisa ? https://www.tvOnenews.com-full )
Untuk menjawab pernyataan di atas, dapat difahami Pasal yang digunakan sebagai atuan yang membolehkan, bahwa pernikahan harus didasarkan pada aturan dari pasangan secara seragam. Pasal ini diperkuat oleh pasal 8 huruf f yang menyebutkan, perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal ini secara tegas ingin mengakomodir hukum-hukum yang berlaku dalam agama setiap pemeluknya termasuk agama Islam. (Wawancara dengan Bapak Abdul Aziz, hakim Peradilan Agama Pekanbaru, sekarang bertugas di Jakarta Selatan, Lihat juga UU Perkawinan No. 1/1974, pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57.)
Aturan ini dipertegas oleh pasal 40 dalam KHI yang secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah dan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Pasal tersebut melarang perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut adalah: a. wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam (UU Perkawinan No. 1/1974, pasal 57. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 101. )
Keadaan tertentu pada pasal c ini secara eksplisit menghendaki pelarangan terjadinya perkawinan antara laki-laki (Muslim) dengan wanita non-Muslimah. Pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-Muslimah apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Pasal 44 mempertegas pelarangan tersebut dengan menyatakan bahwa seorang wanita Muslimah dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim baik kategori ahlul Kitab maupun tidak termasuk kategori ahlul Kitab. (UU Perkawinan 1974., pasal 44. ) Pasal 60 menyatakan bahwa pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, dan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal ini dengan jelas mencegah terjadinya perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan, termasuk syarat kesamaan agama (Islam).
Kemudian yang kedua Dalil hukum Islam (al-Qur an) yang digunakan oleh yang membolehkan nikah beda agama pada umumnya adalah potongan ayat al-Maidah ayat 5 :
“(Dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”
Lewat ayat ini menurut Nurcholis (konselor yang membolehkan nikah beda agama) menjelaskan, bahwa laki-laki Muslim itu boleh untuk menikah dengan perempuan yang baik-baik dari ahlu al-Kitab. Meskipun yang terjadi adalah sebaliknya, maka ayat atau dalil yang dugunakan juga adalah ayat yang sama, dengan alasan bahwa Islam tidak diskriminatif atau pendekatan Gander, dan juga Nurcholis sebagai orang yang menjadi konselor pernikahan beda agama menyatakan bahwa prinsip dari segala sesautu adalah boleh sepanjang tidak ada nash yang melarang. Jadi, Nurcholis menyebutkan bahwa tidak ada ayat yang melarang. (Nikah Beda Agama di Indonesia, Kok Bisa ? https://www.tvOnenews.com-full )
Sebelum membahas lebih lanjut penulis menjelaskan terlebih dahulu untuk mengetahui dengan baik tentang aturan atau hukum tentang pernikahan beda agama dan kaitannya dengan penggunaan dalil di atas, kita perlu membahas tentang orang yang disebut musyrik dan ahlul Kitab. Musyrik adalah sekelompok penyembah berhala, penyembah api dan benda-benda lain, artinya menyembah selain Allah. Para ulama sepakat melarang atau mengharamkan seorang laki-laki Muslim atau wanita Muslimah menikah dengan seorang wanita atau laki-laki musyrik. Para ulama dalam kelompok ini mengartikan musyrik dengan sekelompok orang yang melakukan penyembahan terhadap berhala, api, dan benda-benda lain, seperti telah disebutkan. (Abu Zahrah, al-Ahwāl al-Syakhsiyyah, 112. )
Dasar hukum dari keharaman yang dipegang oleh para ulama ini adalah ayat al-Quran yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan para laki-laki Muslim menikah dengan wanita musyrik, meskipun mereka sangat menarik dan tidak diperbolehkan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (al-Baqarah/2: 5) (Lihat juga Wahbah Zuhayly, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu, 151. )
Sementara ahlul Kitab adalah sekelompok orang yang memiliki kitab dan meyakini kitab yang dimilikinya, selain al-Quran. Terkait dengan ahlul Kitab ini, jumhur ulama berpendapat bahwa wanita ahlul Kitab boleh dinikahi laki-laki Muslim. Namun, seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan seorang laki-laki dari golongan ahlul Kitab. Dasar dari aturan ini adalah ayat al-Quran yang sangat jelas menerangkan hal ini dan menyebutkan bahwa makanan dan wanita-wanita ahlul Kitab dihalalkan bagi kaum Muslim (Wahbah Zuhayly, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu 113-115) Ahlul Kitab dibedakan dari kelompok musyrik dalam al-Quran, dan perbedaan penyebutan musyrik dan ahl al-kitāb menurut beberapa kalangan menunjukkan bahwa al-Quran membedakan kedua kelompok ini.( Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 100.)
Prof. Hamka menjelaskan terkait ayat di atas menjelaskan, bahwa orang Islam selain boleh menikahi perempuan mukminat dan halal pula nikah dengan ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani, alasan diperbolehkan dalam hal ini kata Hamka merupakan kobolehan yang diberikan kepada orang yang telah disebut pada permulaan ayat 1 dan 2 sebelumnya: “wahai orang-orang yang beriman!” Orang yang beriman telah ada sinar tauhid di dalam dirinya, dan dia akan menjadi pemimpin dan akan mencontohkan bentuk ketaatan kepada Allah. Bahkan prof Hamka dalam menjelaskan ayat ini mengambil pemahaman, bahwa laki-laki Islam yang lemah imannya keizinan ini tidak diberikan. Karena bagi yang lemah iman itu dalam hal ini seperti “tukang pancing akan dilarikan ikan”. (Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Singapura: Pustaka Nasional, 1999, h. 1630-1631)
Dapat difahami bahwa, pembolehan nikah beda agama dalam ayat di atas hanyalah ditujukan kepada ahlul kitab, dalam hal ini yahudi dan nasrani dengan catatan yang menjadi calon suami adalah dari orang Islam dan yang akan menjadi calon Istri dari perempuan ahlul kitab, tidak sebalaiknya. Boro-boro membolehkan pernikahan sebalaiknya sebagaimana yang disampaikan Nurcholis di atas, bahkan Prof. Hamka seorang ahli tafsir Indonesia ini menyatakan laki-laki Islam yang lemah imannya keizinan ini tidak diberikan.
Dalam hal ini juga pandangan al-Syirazi lebih jelas, bahwa apa yang tercantum dalam al-Muhazzab, Muhibuddin dalam artikelnya menuliskan bahwa laki-laki Muslim boleh menikahi wanita merdeka ahlul Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang yang masuk agama mereka sebelum adanya penggantian. Ia juga menjelaskan tentang pandangan al-Malibari yang menegaskan bahwa keislaman dan keahlikitaban adalah syarat bagi wanita yang dapat dinikahi oleh laki-laki Muslim. Namun demikian, menurutnya, meskipun membolehkan, Syafi’iyah dan Hanabilah memberikan syarat bahwa orang tua dari si ahlul Kitab harus ahli Kitab. (Lihat al-Syafi’i, al-Umm, Juz 4 (Ttp.: Tpn., 1982), 13. Lihat juga penjelasan tentang hal ini dalam tulisan Muhibuddin, “Tafsir Baru Nikah Beda Agama”, www.pa-wonosari.net.) Pendapat ini menempatkan syarat ketat tentang perkawinan semacam itu. Kepemilikan perempuan atas al-Kitāb tidak boleh dikacaukan dengan masuknya salah seorang keturunannya ke agama lain (al-kitābiyyah al-khālisah).
Apalagi disaat orang yang membolehkan nikah beda agama dengan alasan bahwa tidak ada ayat yang mengharamkan, maka artinya boleh. Ini sebenarnya adalah kaedah dikutip dengan lafaz aslinya :
الأصل فى المعا ملة الإباحة إلاّ أن يدلّ على تحريمها
“ Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang menharamkannya”. ( Dewan syariah nasional DSN selalu menggunakan kaidah ini dalam keputusan-keputusannya. Lihat himpunan Fatwa DSN Edisi Kedua Tahun 2008.)
Jadi sangat miris disaat orang yang dianggap ahli hukum Isalm, tapi menggunan kaidah diatas dalam ranah pernikahan yang seharusnya kaidah itu untuk ranah muamalah. Lebih jelasnya dapat lihat disaat Prof. Djazuli menjelaskan kaidah-kaidah fiqih yang khusus, dengan jelas dan tegas beliau menempatkan kaidah diatas dalam kaidah-kaidah khusus bidang muamalah atau transaksi. (Lihat Kaidah-Kaidah Filik –Kaidah Kaidah Hukum Islam Dalam menyelesaikan Masalah-masalah praktis, h.128-130).
Selain dalil agama, biasanya para akademisi yang membolehkan juga akan berdalihkan bahwa nikah beda agama dapat di catatkan. Sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis sebagai konselator yang membolehkan pernikahan beda agama, bahwa pencatatan itu dilakukan oleh yang secara non Islam, jadi yang pemberkatan itulah yang dicatatakan di Duk Capil untuk mendapatkan akta nikah, Nurcholis mengacu pada edaran MA nomor 231 bagia berbeda agama itu harus menundukkan hukum pada salah satu pasangannya. Lebih lanjut Nurcholis menyebutkan, maka jika dalam hal ini yang terjadi pernikahan beda agama antara orang Islam dan Katolik, maka orang Islam itu menundukkan hukum kepada Katolik. Kemudian Nurcholis juga menyampaikan, bahwa tidak semua Discuk Capil mau menerima/mencatatkan pernikahan beda agama, Discuk capil yang mau menerima/mencatatkan adalah yang memahami UUD Perkawinan dan edaran MA dengan sederhana yang penting adalah “ada bukti pengesahan pernikahan tersebut” karena pencatatan sipil itu mencatatkan pernikahan yang diluar Islam, maka yang mereka ambil adalah pernikahan yang secara non Islam itu. Dan jika ditolak oleh pencatatan sipil maka para pihak akan mencari keadilan di Pengadilan, dalam hal ini pengadilan Negeri, seperti pernikahan yang pernah terjadi di Pontianak. ((Nikah Beda Agama di Indonesia, Kok Bisa ? https://www.tvOnenews.com-full )
Terkait pencatatan ini penulis dan juga pembaca akan mudah memahami. Karena memang pernikahan yang agamanya sama tidak ada kendala. Jika orang Islam menikah dengan orang Islam akan dengan mudah KUA setempat mencatatkan pernikahan mereka dan akan mendapatkan semua hal dalam Adm pernikahan. Karena dasar hukum yang digunankan oleh KUA adalah Intruksi Presiden nomor 1 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dan juga pengadilan yang menangani perkara seperti pernikahan, kewarisan bagi orang Islam adalah Pengadilan Agama bukan malah ke Pengadilan Negeri.
Jadi apa yang disampaikan oleh orang yang membolehkan pernikahan beda agama tidaklah ada pijakam hukumnya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan, baik hukum Islam maupun hukum positif (hukum Negara). Apalagi kita merujuk kepada ayat al qur an surat ar-Rum;30:21 tentang tujuan pernikaha, lebih lanjut lihat Tulisan Muhammad Hafiz tujuan pernikahan dalam al quran https://muamalatcenterconsulting.com/tujuan-pernikahan-dalam-al-quran-tafsir-q-s-ar-rum-30-21/.
Apa yang terjadi di Indonesai adalah merupakan sebuah fenomena, diamana seseorang akan mengambil langkah dimana dan dengan siapa ia berinteraksi, apalagi yang tidak didasari ilmu pengetahuan yang mapan. Misalnya orang yang mau menikah tidak lebih dahulu memahami tentang konsep hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyyah) atau hukum yang mengatur, fenomena-fenomena seperti ini sering dilatar belakangi juga karena terlalu memuji-memuji konsep hak asasi manusia dengan berdalihkan bahwa semua orang punya hak untuk memelih pasangan tanpa terlebih dahulu mencari, mengkaji dan memahami hal-hal mudarat apa yang akan terjadi di kemudian hari dan maslahat apa yang ingin dicapai.
Pada akhirnya, Kemaslahatankemaslahatan itu sangat jelas bagi orang-orang yang memiliki akal sehat dan tabiat lurus yang oleh Allah ‘Azza wa Jalla mereka dikarunia akal yang berkilau dan pemikiran yang cemerlang, memiliki perangkat ilmu, hati mereka diterangi dengan pemahaman terhadap tujuan berbagai perkara, pemahaman mereka terhadap hal-hal yang perlu penalaran dan ijtihad.