You are currently viewing KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

Pencegahan Dalam Islam Sebelum “Dipenjarakan”

Sebelum masuk dalam pembahasan KDRT penulis tetap ingin menyampaikan defenisi perkawinan, sebab tidak jarang orang sudah melaksanakannya tapi tidak faham tujuannya. Secara sederhana defenisi perkawinan bisa dilihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, di Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” (Lihat Undang-undang Perkawinan Nomor: 1 Tahun 1974, pasal 1. ).

Perkawinan merupakan salah satu perintah Agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Karena perkawinan sesuai dengan syariat Islam adalah: menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan, menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan mempunyai keturunan, menjaga keseimbangan garis keturunan, menciptakan keluarga yang merupakan dari masyarakat, menciptakan sikap bahu-membahu antara suami istri untuk mengemban beban kehidupan, sebuah akad kasih sayang dan tolong menolong di antara golongan, dan penganut hubungan antar keluarga.

Perkawinan memberikan ketenangan bagi laki-laki dan perempuan. Pada perkawinan terlihat kedua mempelai hidup secara harmonis, tentram, dan saling menopang hidup di dunia yang penuh dengan aneka ragam permasalahan. Ketika seorang suami letih menghadapi pekerjaannya atau menghadapi kehidupan dunia, ia akan menemukan ketetentraman dan kenyamanan di rumahnya. Sang istri pun merasa tenteram dengan keberadaan suami yang membanting tulang demi menghidupi keluarga. Ia kemudian dengan serius mengurusi pekerjaan rumah dan segala kebutuhan anak-anaknya. Sehingga ia akan merasakan kebahagian yang tiada tara.

Perlu diketahui bahwa hal yang mendasar dalam perkawinan adalah kontinuitas. Tidak akan pernah ada kekekalan dan kelanggengan, kecuali masing-masing pasangan terus bekerja sama, saling menentramkan, saling mencintai, dan saling mengasihi serta saling memahami. Namun dalam perjalanannya, tak jarang terjadi permasalahan. Jika sudah mulai menjadi benang kusut, permasalah tersebut tidak akan terbendung lagi, dan tak jarang malah menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam rumah tangga ini adalah salah satu penyebab terbesar hancurnya sebuah  rumah tangga dan terus terjadi berulang kali. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, selama 2004-2021 ada 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal. ( lihat https://nasional.kompas.com/read/2021/09/28/10181941/sepanjang-2004-2021-komnas-perempuan-catat-544452-kekerasan-dalam-rumah).

Pasal 1 UU Penghapusan KDRT (PKDRT) mendefenisikan KDRT sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bentuk-bentuk KDRT yang tertuang di UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9). (https://www.inews.id/news/nasional/kasus-kdrt-di-indonesia-masih-tinggi-terbanyak-kekerasan terhadap-istri.)

Untuk meredam terjadinya KDRT selain turut hadirnya pihak diluar rumah tangga itu sendiri seperti halnya komnas HAM, akan tetapi hal yang paling penting adalah dari pasangan itu sendiri, baik yang berperan sebagai suami maupun sebagai istri. Berikut ini penulis akan paparkan hal-hal apa yang perlu diperbaiki untuk mencegah adanya kekerasan ataupun ketidak harmonisan dalam rumah tangga:

            Pertama, sebelum pernikahan ada baiknya calon sumai istri mendudukkan perihal mahar, sebab perihal penetapan mahar juga menjadi salah satu bibit-bibit munculnya ketidak harmonisan dalam rumah tangga. Sebut saja misalnya, seorang laki-laki dipaksa untuk memberi mahar yang besar dikarenakan permintaan pihak calon Istri, hasil penelitian menyebutkan, bahwa laki-laki dipaksa memberikan mahar yang besar menimbulkan adanya seakan memiliki hak penuh terhadap perempuan.

Hal ini akan muncul dimana nanti dalam hubungan rumah tangga ada permasalahan, apalagi masalah itu timbul dari wanita, maka laki-laki yang dipaksa memberi mahar tersebut akan muncul egeoisme yang tinggi sehingga ia tidak segan-segan membentak bahkan lebih dari itu, ditambah lagi laki-laki atau suami tidak memahani norma-norma agama yang berlaku.

Perihal besarnya mahar yang dipaksakan ini tidak boleh dianggap sepela, apalagi ditambah pemhaman laki-laki yang minim terhadap nilai-nilai agama. Pemahaman keliru akan nilai-nilai agama membuat Pelaku cenderung menganggap bahwa istri adalah “milik” nya, sehingga memperlakukan istri sesuka hatinya, walaupun hal tersebut dapat menyakitkan diri dan hati istri tersebut. Pola perkawinan yang dipedomani adalah owner property, yang menunjukkan bahwa dalam perkawinan suami berperan sebagai pencari nafkah, sementara istri sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk pada setiap keputusan suami. Pada pola perkawinan ini istri diposisikan sebagai barang milik suami yang harus mau dan siap untuk melayani suami, walaupun istri tidak menginginkannya. Dalam hal ini, kehidupan istri sangat tergantung pada suaminya, dan tidak memiliki hak untuk menyampaikan apapun.

Maka perihal mahar ini calon suami dan istri harus membicarakan dengan baik-baik, sebab pernikahan itu bukanlah perihal seberapa besar mahahr untuk dapat menikahi, jika tidak sanggup lalu pergi layaknya antara penjual dan pembeli. (untuk lebih lanjut perihal mahar baca: https://jurnalpost.com/ukuran-mahar-yang-diberi-laki-laki-lari-karena-diminta-memberi/19187/).

            Kedua, kemudian untuk mencegah adanya retakan dalam rumah tangga, baik retakan karena tidak harmonisan muapun adanya kekerasan adalah disebabkan perihal HAK dan Kewajiban dalam rumah tangga.  hak dan kewajiban adalah salah satu hal penting untuk membuat sebuah pernikahan berlayar dengan selamat dan bahagia hingga ke tujuan perlayaran. Tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban suami isteri secara umum dapat kita temui dalam Kompilasi Hukum Islam, yang merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia atau disebut kitab Fiqh Indonesia.

Dalam bab XII : Pasal 77 menyebutkan, bahwa:

(1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat

(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;

(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;

(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;

(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Lewat bab XII, Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam  ini para ulama Indonesia sangat mengedepankan kerja sama antara suami dan isteri, selain suami dan isteri mempunyai kedudukan sama dan kerja sama dalam mewujudkan keluarga sakinah yang di dalamnya ada rasa mawaddah dan rahman, juga hal ini menunjukkan bahwa di dalam kewajiban suami ada hak isteri, dan di dalam hak suami ada kewajiban isteri.

Penulis sering mengatakan, bahwa kewajiban suami bukanlah sebuah beban yang ia harus pikul sendiri, sebab kalau ia pikul sendiri dan dituntut penuh atas segala kewajibannya.

Maka, yang akan terjadi adalah hubungan antara majikan dan bawahan. Namun para ulama selalu mengedepankan kerja sama, saling membantu, saling mendukung dan saling menguatkan. Sebab pernikahan bukanlah hubungan antara majikan dan bawahan, majikan yang memenuhi hak bawahan, sekaligus bawahan yang siap dengan segala konsekuensi perintah majikan.

Ketiga, selain hal di atas. Maka, faktor penentu untuk tidak terjadinya KDRT dalam rumah tangga adalah ada pada diri laki-lakai (suami), seorang suami harus benar-benar memahami konsep pernikahan dan memegang teguh nilai-nilai agama, sebab tidak sedikit isu penyebab adanya KDRT adalah karena adanya orang ketiga/perselingkuhan, dimana laki-laki ketahuan selingkuh oleh istri dan setiap istri pasti murka, ini adalah puncak permasalahan dala, hubungan yang sering kali berujung kepada kekerasan.

Islam sangat menjadikan ukuran laki-laki yang baik adalah laki-laki yang baik terhadap istrinya, jangankan melakukan kekerasan bahkan memebentak istrinya saja sangat dilarang. Rasulullah menyebutkan:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR: At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

Dapat difahami, bahwa ini merupakan perintah untuk para suami agar ber akhlak baik kepada istri, tidak menyakiti perasaan mereka dengan bentakan apalagi dengan kekerasan pisik, dan berkasih sayang terhadap istri dikarenakan fitrah mereka mengedepankan perasaan serta nalar mereka yang berbeda dengan laki-laki. Lalu disaat ada kelakuan istri yang menurut suami tidak baik atau memang benar-benar diluar keinginan suami, contohnya disaat suami tidak suka terhadap satu atau dua prilaku istri (pasangan), maka ingatlah ada kebaikan yang ingin Allah tunjukkan, agar tidak mudah terpancing emosi oleh keadaan. Bahkan meskipun istri melakukan sesuatu yang jelas-jelas menunjukkan akhlak yang buruk, suami tetap diminta untuk bersabar dan tidak menyakitinya.

Dalam hal ini intinya laki-laki yang baik agamanya dapat dipastikan tidak akan melakukan kekerasa, jika seorang laki-laki melakukan kekerasan maka kedudukannya sebagai pemimpin hilang. (untuk lebih lanjut baca: https://jurnalpost.com/makna-pemimpin-dalam-pernikahan/19453/).

Selian hal di atas tentunya faktor-faktor lain masih ada, sepertinya halnya yang disampaikan oleh Rocmat Wahab yang menyimpulkan bahwa KDRT acapkali terjadi karena kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusimasalah rumah tangga apapun, serta kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba. (Lihat Rochmat Wahab, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif).

Untuk mencegah terus meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, maka suami istri harus benar-benar memahami tujuan dari sebuah pernikahan sehingga apabila permasalahan datang mereka mempunyai pegengan dan jalan keluar, sebab kekerasan dalam rumah tangga itu seperti gunung es yang terlihat kecil di permukaan, namun merupakan bongkahan yang sangat besar dan belum dapat dideteksi di dalam laut. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dimuat di berbagai media massa merupakan kasus-kasus yang langsung berkaitan dengan hukum. Sementara itu, masih banyak kasus kasus yang dirahasiakan karena dianggap wajar dalam rumah tangga atau adanya pemahamanan yang keliru tentang relasi suami dan istri sehingga menjadi hal yang tabu untuk diselesaikan di publik. Fenomena kekerasan dalam rumah tangga masih terus memerlukan penanganan yang serius dan komprehensif, sehingga tidak ada lagi perempuan yang menderita akibat tindakan kekerasan yang dialami di dalam rumah tangga.

Pada akhirnya permasalahn yang sudah terlanjur memuncak apalagi sudah sampai melukai seorang istri yang nota benenya adalah manusia yang mempunya hak untuk dillindungi, dalam huku Islam atau tujuan diturunkannya syariat adalah untuk memberikan perlindungan baik perlindungan diri untuk tidak disakiti (Hifz an-Nafs) maupun perlindungan psikis (hifz an-aql), maka seorang perempuan (yang tersakiti) harus menyampaikan kepada keluarga dan apabila tidak bisa diselesaikan secara kekeliargaan maka tidak mengapa yang melakukan kekerasan dipenjarakan.

Wallahu a’lam…..

Leave a Reply