You are currently viewing STATUS NASAB ANAK AKIBAT PERNIKAHAN HAMIL

STATUS NASAB ANAK AKIBAT PERNIKAHAN HAMIL

(Telaah Terhadap Fikih Klasik dan KHI Pasal 53 dan Pasal 99)
Muhammad Hafis S.H (Mahasiswa Magister Ilmu Syariah UIN Yogyakarta)

Banyaknya pernikahan hamil terus meningkat dari tahun ke tahun,  mengutip data yang disampaikan oleh Prof. Khoiruddin tentang banyaknya pernikahan hamil yang terjadi dalam tulisan jurnalnya, bahwa Peristiwa kawin hamil di masyarakat Kecamatan Mlati (Yogyakarta) dari tahun 2017-2019 menunjukkan tren peningkatan. Pada tahun 2017, dari 504 pasang calon pengantin yang terdaftar, 45 diantaranya atau sebanyak 8,1% merupakan kawin hamil. Tahun 2018 pun angkanya meningkat yaitu dari 535 pasangan calon pengantin, 52 pasangan atau 8,5% melaksanakan kawin hamil. Peningkatan tertinggi pada data penelitian terjadi di tahun 2019. Dari 540 pasangan calon pengantin yang mendaftar tahun tersebut, 58 atau 9,7% diantaranya menikah dengan kawin hamil. (Khoiruddin, Penerapan Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 tentang Kawin Hamil dan Tajdid al-Nikah di Kecamatan Mlati dalam Tinjauan Maqasid Syariah, 337)

Pergaulan bebas dan kurangnya pemahaman agama menyebabkan terjadinya praktik nikah hamil. Di Indonesia,  salah satu masalah yang bisa menimpa para remaja dengan pergaulan bebas  adalah kehamilan (di luar nikah), akibat perzinaan yang dilakukan mereka. Kehamilan di luar nikah terjadi karena pasangan kekasih sering memanfaatkan beberapa kesempatan dan perkembangan teknologi yang dapat membawa mereka kepada pergaulan yang tidak sesuai dengan aturan dan norma. Ketika kehamilan terjadi, bukan hanya pasangan kekasih yang merasa bingung dan malu. Orang tua mereka akan merasakan hal yang sama dan bahkan lebih dari pasangan kekasih (anak mereka) itu sendiri.

Untuk menghilangkan dan menyelesaikan permasalahan kehamilan di luar nikah atau akibat perzinaan, para orang tua biasanya menikahkan anak-anak mereka yang telah hamil tersebut baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupu dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Setelah anak perempuan yang hamil tersebut melahirkan sering kali para orang tua menikahkan ulang anak-anak mereka, beranggapan bahwa pernikahan mereka belum sah, karena mereka menikah dalam keadaan hamil. Praktik seperti ini dilatari oleh apa yang mereka pahami tentang ketentuan nikah hamil di dalam fikih-fikih klasik. Berdasarkan pada praktik ini, para ulama Indonesia menyepakati untuk memperbaiki pemahaman dan sekaligus menetapkan aturan nikah hamil di dalam KHI, seperti yang akan dijelaskan. 

Sebelum menjelaskan tentang ketentuan dalam KHI tentang nikah hamil, pandangan para ulama tentang ini perlu dikemukakan terlebih dahulu. Jumhur ulama memperbolehkan praktik nikah hamil, tidak harus menunggu melahirkan (Wahbah Zuhayly, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu, 148). Namun mereka berbeda pendapat mengenai dengan siapa mereka (wanita-wanita hamil itu) boleh menikah dalam keadaan hamil. Imam Malik dan Hanbali berpendapat bahwa wanita hamil hanya boleh dengan yang menghamilinya. Dengan kata lain, kedua Imam ini melarang pernikahan wanita hamil dengan seorang laki-laki yang bukan menghamilinya. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hanafi memiliki pendapat bahwa wanita hamil dibolehkan menikah dengan orang yang menghamilinya dan juga dengan yang bukan menghamilinya. Jika wanita hamil dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, maka wanita tidak boleh digauli dahulu, sampai wanita tersebut melahirkan dan masa iddahnya habis. (Wahbah Zuhayly, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu, 148-150). Para imam ini menyandarkan pada beberapa dalil yang berbeda. Imam Hanafi dan Syafi’i mendasarkan pada ayat al-Quran yang berbunyi, ‘wa ahalla lakum ma wara’a dzālikum’, dan hadis yang berbunyi, ‘la yuhrimu al haramu al-halāla’. Adapun Imam Malik dan Hanbali mengutip beberapa ayat al-Quran, yang salah satunya berbunyi, ‘wa hurrima dzālika ‘ala al-mu’minīn’, dan hadis yang salah satunya berbunyi, ‘fa la yusqi ma’ahu zar’a ghairihi’.

Dalam hal ini, KHI tampaknya mengadopsi dan cenderung kepada pendapat Malik dan Hambali. Pasal 53 KHI menyebutkan bahwa wanita yang hamil di luar nikah dapat menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Pernikahan yang telah dilangsungkan tidak perlu diulang kembali ketika si wanita telah melahirkan anaknya. Aturan tentang tidak perlunya pasangan menikah kembali setelah anak yang dikandung lahir dilatarbelakangi oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang mempelai wanitanya sedang hamil harus diulang ketika anak yang dikandung sudah dilahirkan. Mereka memandang bahwa wanita yang melahirkan harus mengalami  masa iddah dan setelah iddah habis, mereka boleh dinikahkan.

Penetapan aturan kebolehan menikahnya seorang wanita hamil dan hanya dengan yang mengakibatkan wanita hamil tersebut dimaksudkan, dalam pandangan penulis, agar aturan itu relevan dan searah dengan aturan tentang kesahan anak atau aturan anak sah dan penetapan nasabnya dalam KHI yang berbeda dari aturan fikih. Menurut pandangan para ulama klasik, status anak dari wanita hamil di luar nikah bernasab hanya pada ibunya, meski mereka menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Hal ini dikaitkan dengan pendapat ulama yang mengatakan bahwa anak yang lahir di bawah 6 bulan setelah perkawinan ibunya, anak tersebut dapat diingkari oleh bapaknya dan nasabnya tidak bisa dihubungkan kepada bapaknya. Dari pandangan fikih ini dapat dijelaskan bahwa masih ada kemungkinan seorang anak yang lahir dari wanita yang hamil di luar nikah diakui kenasabannya kepada bapaknya, jika wanita menikah dan ia melahirkan anaknya setelah mereka menikah lebih dari 6 bulan.

Namun demikian, terdapat syarat-syarat lain untuk penetapan nasab anak ini yang harus dipenuhi, yaitu adanya kehamilan yang jelas dan diketahui laki-laki yang menikahinya dan laki-laki tersebut tidak menyangkalnya. Jika ia menyangkal, laki-laki tersebut harus melakukan li’an. Jika si wanita menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, anak yang lahir bisa juga dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya dalam pandangan beberapa ulama. Selain itu, dalam pandangan Hanafi, seorang wanita yang hamil dan menikah dengan laki-laki yang menghamilinya, anak yang dilahirkan pada masa pernikahan kurang dari 6 bulan dapat ditetapkan nasabnya kepada bapaknya dengan syarat si bapak tidak menyebutkan bahwa anak tersebut lahir dari perbuatan zina. (Lihat Abu Zahrah, al-Ahwāl al-Syakhsiyyah, 456 dan 454)

Penetapan batasan 6 bulan dalam menentukan kesahan anak didasarkan pada pemahaman bahwa usia minimum kehamilan wanita adalah 6 bulan. Pemahaman ini diambil atau ditafsirkan dari dua ayat al-Quran (ayat 14 Surat Luqman dan ayat 233 Surat al-Baqarah) yang menjelaskan tentang masa sempurna penyusuan anak dan masa kehamilan. Disebutkan di ayat 14 Surat Luqman bahwa seorang ibu dengan susah dan payah mengandung dan menyusui anak selama 30 bulan atau dua tahun setengah. Sementara di ayat 233 Surat al-Baqarah dijelaskan bahwa masa sempurna penyusuan adalah 24 bulan atau dua tahun penuh. Dengan dasar kedua ayat ini para ulama sepakat bahwa masa minimum kehamilan adalah 6 bulan. Namun, mereka tidak sepakat dalam menentukan usia maksimum lamanya kehamilan. Imam Malik menetapkan 5 tahun sebagai usia maksimum kehamilan, usia yang sangat tua bagi sebuah kehamilan. Imam Syafi’i menetapkan 4 tahun dan Imam Hanafi 2 tahun.

KHI mengesahkan tersambungnya nasab si anak dengan bapaknya jika ibu dan bapak yang menghamilinya menikah sesuai dengan aturan pasal 53 seperti telah disebut. Karena anak tersebut dianggap anak sah dari si bapak (laki-laki) yang menghamili ibunya dan kemudian menikahinya, bapak tersebut berhak menjadi walinya. Selain itu, si bapak bisa mewarisi dan diwarisi.

Pernikahan yang dilakukan tidak memiliki batasan waktu. Kapan pun anak dilahirkan dari wanita yang menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau kapan pun si wanita dinikahi dalam masa kehamilannya, anak tersebut akan memiliki nasab pada bapaknya. Misalnya, seorang wanita hamil dan ia kemudian menikah dengan laki-laki yang menghamilinya dan satu bulan kemudian atau lebih cepat dari satu bulan anak yang dikandungnya lahir. Karena anak tersebut lahir dalam ikatan perkawinan yang sah, tidak perduli, perkawinan itu baru satu bulan dilaksanakan, anak tersebut menjadi anak yang sah dari bapaknya. Kesahan anak yang lahir dari pernikahan seperti ini sejalan dengan aturan penetapan anak sah yang tercantum dalam pasal 99 KHI dan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam ikatan pernikahan yang sah dan akibat dari pernikahan yang sah. Aturan ini tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan para ulama. Terkait pandangan ulama tentang hal ini dapat dijelaskan lewat pandangan mereka tentang masa minimum usia kehamilan, seperti telah diungkap.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa para ulama menasabkan anak dari nikah hamil kepada bapaknya dengan syarat syarat adanya kehamilan yang jelas dan diketahui laki-laki yang menikahinya dan laki-laki tersebut tidak menyangkalnya. Jika ia menyangkal, laki-laki tersebut harus melakukan li’an. Jika si wanita menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, anak yang lahir bisa juga dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya dalam pandangan beberapa ulama. Dengan batasan kehamilam 6 (180 hari) sejak dilakansakan pernikahan. Bahkan Kompilasi Hukum Islam pasal 99 KHI dan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam ikatan pernikahan yang sah dan akibat dari pernikahan yang sah, artinya pasal ini tidak menentukan batas minimal kehamilan.

Akan tetapi penulis lebih condong pendapat yang mengatakan, bahwa anak yang dapat dinasabkan kepada bapaknya adalah anak yang lahir dalam pernikahn yang sah dengan batasan minimal anak tersebut lahir  6 bulan pernikahan.  dengan syarat adanya kehamilan yang jelas dan diketahui laki-laki yang menikahinya adalah laki-laki yang mengahmilinya dan laki-laki tersebut tidak menyangkalnya, Hal ini tentunya agar anak mendapatkan kemaslahatan dan ini sesuai dengan konsep maqasid syariah

Dengan begitu jelas, bahwa Nasab anak (hifz nasab) dapat diakui, Anak memiliki ayah secara resmi dan mendapatkan bukti bertulis (Akta kelahiran) sehingga dapat terjamin segala keperluannya, maka dalam hal ini pandangan yang menerima aturan Kompilasi Hukum Islam dapat dikuatkan berdasarkan dalil maslahat ini.

Memberikan hak-hak anak yang lahir tanpa dosa, seperti hak mewarisi, hak perwalian, hak hadanah, hak nafkah dan sebagainya. Tanpa diperakui hak nasab, seorang anak tidak mempunyai hak sebagaimana layaknya seorang anak di samping orang tuanya kerana segala tanggungjawab terhadapnya hanya dilaksanakan oleh pihak ibu. Dalam kondisi seperti itu, anak tidak dapat merasakan nikmat kasih sayang daripada kedua ibu bapanya yang merupakan unsur penting bagi pertumbuhan anak dalam berbagai aspek, terutama aspek akal (hifz al-aql)

Dan tentunya pengakuan nasab anak dari pernikahan hamil ini tidak ada sangkut pautnya dengan memberikan ruang bagi muda mudi untuk melakukan perzinahan, sebab kasus perzinahan dan kasus penasaban anak tidak bisa disatu padukan. Akan tetapi untuk meminimalisir penulis lebih setuju pasal 99 yang menyebutkan “bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam ikatan pernikahan yang sah dan akibat dari pernikahan yang sah” dalam pasal ini tidak menyebutkan batas minimal kehamilan, mak ada baiknya pasal ini ditambah  dengan menetapkan batas minumun kehamilan misalnya dengan mengatakan “anak yang lahir dalam ikatan pernikahan yang diakui kesahannya adalah hanya anak yang lahir setelah 180 hari (6 bulan) pernikahan dilangsungkan”, hal ini sesuai dengan pendapat ulama sebagaimana yang sudah dijelaskan, kemudian kemaslahatan yang ingin dicapai juga tercapai dari pasal 53  KHI tentang bolehnya pernikahan hamil dengan laki-laki yang mengahmilinya.

 

Leave a Reply